Hukum Menuntut Ilmu

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik dari Nabi saw bersabda,”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Ilmu bisa kita dibagi menjadi dua macam :

1. Ilmu-ilmu yar’i

Menuntut ilmu-ilmu syar’i ini merupakan sebuah tuntutan akan tetapi hukum menuntutnya disesuaikan dengan kebutuhan terhadap ilmu tersebut. Ada dari ilmu-ilmu itu yang menuntutnya adalah fardhu ‘ain, artinya bahwa seseorang mukallaf (terbebani kewajiban) tidak dapat menunaikan kewajiban terhadap dirinya kecuali dengan ilmu tersebut, seperti cara berwudhu, shalat dan sebagainya, berdasarkan hadits,”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” Nawawi mengatakan,”Meskipun hadits ini tidak kukuh namun maknanya benar.”

Menuntut ilmu-ilmu itu tidaklah wajib kecuali setelah ada kewajiban tersebut (terhadap dirinya, pen)... Diwajibkan terhadap setiap orang yang ingin melakukan jual beli untuk belajar tentang hukum-hukum jual beli, sebagaimana diwajibkan untuk mengetahui hal-hal yang dihalalkan maupun diharamkan baik berupa makanan, minuman, pakaian atau lainnya secara umum. Demikian pula tentang hukum-hukum menggauli para istri apabila dirinya memiliki istri.

Adapun tentang kewajiban yang segera maka mempelajari ilmu tentangnya juga harus segera. Begitu juga dengan kewajiban yang tidak segera, seperti : haji maka mempelajari tentangnya juga bisa tidak disegerakan, menurut orang-orang yang berpendapat seperti itu.

Dari ilmu-ilmu syar’i itu ada yang menuntutnya adalah fardhu kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang mesti dimiliki oleh manusia dalam menegakan agama mereka, seperti menghafal al Qur’an, hadits-hadits, ilmu tentang keduanya, ushul, fiqih, nahwu, bahasa, mengetahui tentang para perawi hadits, ijma’, perbedaan pendapat ulama…

Ada pula ilmu-ilmu syar’i yang menuntutnya adalah disunnahkan, seperti mendalami tentang pokok-pokok dalil, menekuninya dengan segenap kemampuannya yang dengannya bisa menyampaikannya kepada fardhu kifayah.

2. Ilmu-ilmu yang bukan Syar’i

Sedangkan hukum menuntut ilmu-ilmu yang bukan syar’i maka ada yang fardu kifayah, seperti ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk mendukung urusan-urusan dunia, seperti ilmu kedokteran karena ilmu ini menjadi sesuatu yang penting untuk memelihara tubuh, atau ilmu hitung karena ini menjadi sesuatu yang penting didalam muamalah (jual beli), pembagian wasiat, harta waris dan lainnya. Ada juga yang menunututnya menjadi sebuah keutamaan, seperti mendalami tentang ilmu hitung, kedokteran dan lainnya, Namun untuk melakukan ini tentunya membutuhkan kekuatan dan kemampuan ekstra. Ada juga yang menuntutnya diharamkan, seperti menuntut ilmu sihir, sulap, ramalan dan segala ilmu yang membangkitkan keragu-raguan. Ilmu-ilmu ini pun berbeda-beda dalam tingkat keharamannya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 10370 – 10371)

Adapun untuk mendapatkan ilmu itu sendiri yang paling utama adalah mendatanginya, sebagaimana riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”… Barangsiapa yang melalui suatu jalan untuk mendapatkan ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surgea.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Hurairoh dan dia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Hadits ini menunjukkan bahwa dianjurkan bagi seseorang untuk keluar dari rumahnya mendatangi majlis-majlis ilmu walaupun dirinya harus melakukan perjalanan yang jauh seperti kisah Nabi Musa dengan Khaidir. (Baca : Majelis Ilmu dan Jalan Ke Surga)

Hal lain yang perlu diketahui oleh para penuntut ilmu ini adalah meyakini bahwa orang-orang yang menjadi sumber ilmunya (guru) itu adalah orang-orang yang shaleh, bertanggung jawab terhadap ilmunya, memiliki prilaku yang baik, amanah, jujur, mengamalkan ilmunya.

Adapun cara untuk mendapatkan ilmu bisa dengan mendatangi sumber ilmu secara langsung di majlisnya atau bisa juga dengan mencari atau memperdalamnya melalui sarana-sarana media yang sangat mudah didapat saat ini, baik cetak maupun elektronik. Setelah itu hendaklah dirinya melakukan penelaahan terhadap setiap ilmu / pengetahuan yang didapatnya untuk diterima atau ditolak. Karena setiap pendapat atau perkataan seseorang bisa diterima atau ditolak kecuali pendapat Rasulullah saw. Akan tetapi jika telah jelas kebenarannya maka tidak boleh baginya untuk berpaling darinya karena pada dasarnyan kebenaran itu berasal dari Allah swt.

Bookmark and Share



0 komentar: